Kami mohon maaf karena lagu baru untuk bulan Mei baru dibagikan pada awal bulan Juni ini. Bulan lalu, “Ini Mataku” didownload sebanyak lebih dari 200 kali. Kami sangat berharap lagu “Semua Mungkin” ini dapat menjadi berkat juga untuk semua anak-anak yang Tuhan Yesus kasihi di Indonesia.
Saudara dapat menyanyikannya di Sekolah Minggu Saudara dengan kreasi gerakan yang Saudara dan tim Saudara buat sendiri, merekamnya, menguploadnya di youtube dan menshare linknya di comment di bawah ini…
Sekali lagi, jika Saudara ingin membagikan lagu ini, kami akan sangat menghargai jika Saudara membagikan link ini, dan bukannya langsung membagikan lagu yang sudah Saudara download.
Baiklah, selamat belajar lagu baru, silahkan klik link berikut ini –> SEMUA MUNGKIN
Lirik:
SEMUA MUNGKIN
Composed by Yoanna Greissia
dinyanyikan oleh Anoint Children Choir
Tidak mungkin yang lumpuh dapat berjalan Tidak mungkin yang buta melihat Tidak mungkin yang mati dapat hidup lagi
Jika Yesus yang melakukan TAK ADA yang mustahil Dia Tuhan atas semesta Nama-Nya berkuasa
Semua mungkin yang lumpuh dapat berjalan Semua mungkin yang buta melihat Semua mungkin yang mati dapat hidup lagi
Jelaskan pada anak-anak Sekolah Minggu Anda bahwa bagi Yesus tidak ada yang mustahil. Jika DIA dapat mencelikkan yang buta, membuat orang lumpuh berjalan, bahkan membangkitkan orang mati, DIA dapat menyembuhkan segala penyakit mereka dan dapat membantu mereka mengatasi setiap masalah yang mereka hadapi.
Saudara dapat langsung mengganti kata “tidak mungkin” pada bait pertama dengan “semua mungkin”, atau tetap mempertahankan “tidak mungkin” sebagai variasi, namun dengan memberikan penjelasan yang benar pada mereka.
Mengajar di era digital tentu berbeda dengan mengajar pada era sebelumya. Kini teknologi memungkinkan siswa mendapatkan seluruh pengetahuan yang ada di dunia bahkan tanpa perlu pergi ke sekolah, hanya bertekad kemauan dan inisiatif dari siswa saja. Bahkan keahlian pun dapat dipelajari melalui internet. Buka saja youtube dan Anda bisa mempelajari banyak skill tanpa repot-repot harus les atau mendaftar kursus.
Teknologi seolah menjadi pesaing berat sekolah dalam banyak hal. Tidak percaya? Mari kita lihat beberapa keunggulan “teknologi” dibanding sekolah:
Metoda Pembelajaran Seragam vs Kustomisasi
Sekolah kebanyakan (terutama di Indonesia) menekankan pembelajaran seragam untuk seluruh siswanya. Seluruh siswa harus mengikuti pelajaran yang sama tanpa terkecuali. Suka tidak suka, seluruh siswa harus belajar mengenai seni, matematika, bahasa, fisika, biologi dan banyak lagi. Bukannya bertujuan meningkatkan kecerdasan, kini sekolah justru sibuk dengan mengejar target akademis.
Bandingkan dengan teknologi yang menyediakan banyak informasi dan mengakomodir keingintahuan siswa dengan lebih mendalam (bahkan lebih mendalam dari apa yang diajarkan di sekolah). Siswa yang tertarik dengan biologi misalnya, dapat dengan mudah mengunduh banyak sekali sumber dari berbagai negara untuk memperkaya pengetahuannya dan memuaskan ketertarikannya.
Guru sebagai Ahli vs Sumber Pengetahuan yang BERAGAM
Di sekolah, guru adalah sumber dari informasi yang bertugas meneruskan informasi yang dimilikinya kepada siswa. Mereka adalah pemilik otoritas yang (kebanyakan) tidak suka jika otoritasnya ditantang dengan banyak pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Tidak jarang kita melihat guru yang mencoret jawaban siswa yang sebenarnya benar, hanya karena tidak mengikuti cara yang diajarkan guru.
Bandingkan dengan apa yang dapat diperoleh melalui dunia maya. Ada banyak video dari para ahli yang dapat diunduh dengan mudah. Bahkan ada banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan siswa yang mungkin tidak dapat dijawab oleh guru-guru di sekolah.
Mengerjakan dengan “kepala” vs menggunakan “alat bantu”
Ada suatu keyakinan dari guru-guru (dan orang tua) bahwa jika ingin menguasai sesuatu, maka siswa harus melakukannya sendiri tanpa alat bantu (misal kalkulator atau kamus). Lihat saja menjamurnya tempat-tempat les berhitung yang menuntut anak-anak dapat berhitung cepat di luar kepala.
Bedakan dengan apa yang sebenarnya terjadi di “dunia nyata” di mana kecerdasan seseorang tergantung dari kemampuannya menggunakan alat bantu untuk menyelesaikan pekerjaan yang dimilikinya.
Standar Penilaian vs Spesialisasi
Di sekolah, seluruh penilaian memiliki standarnya sendiri. Setiap siswa harus mengisi pilihan ganda, atau essay, atau apapun bentuk soal yang sama untuk seluruh siswa, di mana hasilnya merupakan nilai yang obyektif dan dinilai adil untuk seluruh siswa. Itulah sebabnya seluruh siswa perlu belajar hal yang sama. Sementara teknologi mendorong siswa untuk mencari tahu dan menguasai materi-materi yang hanya menjadi minatnya saja.
Penguasaan Materi vs Ledakan Pengetahuan
Di sekolah, siswa dituntut untuk menguasai pengetahuan yang ‘mungkin’ dibutuhkannya untuk kehidupan. Mereka dituntut untuk menghafal dan menguasai materi di luar kepala. Namun pengetahuan terus bertambah dan buku pelajaran akan makin tebal dan tebal seiring dengan pertambahan pengetahuan.
Dengan ledakan pengetahuan yang demikian pesat, manusia tidak mungkin mempelajari semua hal di sekolah yang akan berguna di kemudian hari. Siswa perlu belajar bagaimana caranya belajar sesuatu yang baru dan bagaimana menggali informasi dan sumber yang mereka perlukan.
Sekolah perlu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, namun yang perlu diingat adalah, transfer ilmu pengetahuan BUKANLAH tujuan utama PENDIDIKAN. Dalam era digital, di mana hubungan antar manusia merenggang dan life skill semakin menurun, tugas utama sekolah adalah MENCERDASKAN anak-anak agar mereka siap untuk menjadi MANUSIA SEUTUHnya.
Masalah kecerdasan sudah sering dibahas oleh banyak sumber. Anda pasti pernah mendengar mengenai kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence). Seringkali pembahasan mengenai kecerdasan majemuk hanyalah seputar “anak-anak kita memiliki kecerdasan berbeda, jangan hanya menilai mereka dari nilai matematikanya saja”.
Sebenarnya BUKAN ITU inti dari KECERDASAN MAJEMUK. Kecerdasan majemuk adalah jenis-jenis kecerdasan yang HARUS dimiliki setiap orang untuk dapat bertahan hidup. Sebenarnya kecerdasan majemuk ini sudah ada dalam materi-materi pelajaran di sekolah, sayangnya, hanya berupa tuntutan akademis yang seringkali kehilangan maknanya.
Sebenarnya kecerdasan majemuk perlu dilatih agar siswa dapat:
Kecerdasan logika agar siswa dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan dengan sistematis dan logis.
Kecerdasan bahasa agar siswa dapat berkomunikasi dengan benar, dengan bahasa yang sopan dan pantas.
Kecerdasan visual agar siswa dapat lebih peduli dan memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Kecerdasan musik agar siswa dapat lebih peka dengan ‘suara-suara alam’ dan ‘ritmik kehidupan’
Kecerdasan olah tubuh agar siswa dapat menjaga keseimbangan, kesehatan dan kebugaran tubuhnya.
Kecerdasan natural agar siswa dapat bertanggungjawab dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kecedasan Interpersonal agar siswa dapat menguasai diri, berdamai dengan dirinya dan menerima dirinya apa adanya.
Kecerdasan Intrapersonal agar siswa dapat menjalin hubungan / relasi yang sehat dengan setiap orang yang ada di sekitarnya.
Kecerdasan eksistensial agar siswa dapat menyadari keberadaan dirinya merupakan anugerah dari Sang Pencipta dan mensyukuri setiap hal yang dia miliki dalam hidup
Bukankah semua hal itu penting dalam kehidupan? Bukankah itu seharusnya tujuan dari “pergi ke sekolah setiap hari”, agar anak-anak siap menghadapi “dunia luar”?
Sekolah bukanlah sekedar tempat untuk transfer ilmu! Jika memang begitu, maka sekolah sudah KALAH TELAK dari teknologi di era digital ini. Sekolah adalah tempat di mana siswa belajar menjadi cerdas dalam arti siap menjadi MANUSIA yang SEUTUHnya.
Mendidik bukanlah sekedar melakukan transfer ilmu! Jika memang begitu, maka guru sudah KALAH TELAK dengan teknologi di era digital ini. Pendidik adalah mereka dengan perencanaan matang yang menerapkan teori prinsip mengajar dan teori perkembangan anak untuk menyampaikan materi ajar dan menguasai kelas yang bertujuan mengubah PERILAKU anak didik secara positif (Levin dan Nolan).
Ini adalah era digital! Sekolah adalah tempat kedua di mana anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya. Jika sekolah tidak menggunakan waktu yang banyak itu untuk “mengubahkan perilaku” (dengan kata lain membina karakter) anak, maka sekolah akan menjadi suatu tempat yang tidak berguna.
Nantikan tulisan berikutnya: Mengajar Sekolah Minggu di Era Digital
Era digital tidak hanya mempengaruhi anak-anak, tapi juga orang dewasa. Itu sebabnya tidak hanya ada perbedaan antara “anak-anak jaman dahulu” dan “anak-anak sekarang”, tapi juga ada perbedaan antara “orang tua jaman dahulu” dan orang tua sekarang”, juga “guru-guru jaman dahulu” dan “guru-guru sekarang”. Semua orang terkena imbas dari majunya teknologi yang demikian pesat.
Orang tua di era digital menggunakan teknologi seperti TV, smartphone, komputer, dan tablet untuk “mengelola” kehidupan keluarga dan untuk mengasuh anak-anak mereka. Ketika anak-anak tumbuh dewasa, orang tua dan anak-anak memiliki jumlah tatap muka yang sangat sedikit, bahkan mereka memiliki kualitas hubungan yang lebih rendah dibanding era sebelumnya.
Berikut adalah beberapa hal yang harus diketahui orang tua terlebih dahulu: Continue reading →
“Anak-anak sekarang berbeda dengan anak-anak dahulu”
Tahukah Anda apa yang mendasari perbedaan yang terjadi? Mereka (dan juga kita saat ini) hidup di jaman digital. Seandainya kita hidup sejak kecil di jaman digital, dapat dipastikan bahwa kita akan menjadi sama seperti ‘anak-anak sekarang’.
Era digital adalah suatu masa di mana perkembangan teknologi demikian pesat dan pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.
Anak-anak yang tumbuh pada era digital ini memiliki banyak pengalaman belajar dan bermain dengan teknologi baru seperti iPod, iPad, telepon pintar, facebook, dan banyak lagi. Tapi, hal yang mengkhawatirkan adalah, mereka kehilangan banyak jenis pembelajaran yang lain, interaksi fisik, dan kecerdasan emosi.
Dalam artikel kali ini kita akan membahas apa yang terjadi dengan anak-anak ini (dalam artikel berikutnya, kita akan membahas mengenai bagaimana mengajar anak-anak ini):
1. Anak-anak tidak lagi suka main di luar
Anak-anak lebih suka main di dalam rumah sambil memegang peralatan elektronik mereka, duduk di depan komputer atau video games. Negara-negara Barat sudah menyadari hal ini dan pemerintah mereka berinvestasi begitu besar agar guru-guru dapat memotivasi siswa mereka untuk bermain di luar seperti petak umpet, hopscotch (permainan jingkat).
Ada banyak keuntungan jika anak mau main keluar dan menggunakan fisiknya. Mereka akan semakin sehat, lebih bahagia dan tidak akan mengalami kegemukan.
Di Indonesia, kita melihat masih banyak anak-anak di daerah pinggiran yang bermain keluar. Mereka bermain sepeda dan berlarian di jalan. Berbeda dengan “anak-anak kota” yang dibelikan gadget oleh orang tuanya.
2. Anak-anak tidak lagi belajar dengan Interaksi tatap muka
Bagaimana seorang bayi belajar berekspresi atau menunjukkan emosinya? Bagaimana mereka belajar bicara dan bahasa? Mereka melakukannya dengan mempelajari ekspresi wajah orang tuanya dan mereka mulai belajar menjadi mahluk sosial ketika mereka masuk PAUD dan sekolah.
Tapi apa yang terjadi sekarang?
Orang tua di era digital sibuk dengan peralatan elektroniknya dan tidak dapat diganggu. Mereka bahkan tidak ada waktu untuk melihat, tersenyum atau bercanda dengan anak-anak mereka sendiri! Lihatlah keluarga di restoran dan Anda akan melihat apa yang kami maksud.
Peringatan ini telah diberikan oleh banyak dokter anak. Salah satunya, Dr. Jenny Radesky, melakukan studi pada 55 kelompok orangtua ketika mereka makan di restoran cepat saji. Dia dan timnya menghabiskan musim semi melakukan observasi ini dan hampir semua orang tua perlu diingatkan untuk menjauhkan smartphone mereka dan memberikan perhatian pada anak-anak mereka. Hal ini sangat penting untuk perkembangan anak-anak.
3. Hubungan Orang tua-Anak Menjadi Renggang
Orang tua digital menganggap sepele peran orang tua dan ini tidak adil bagi anak-anak. Penggunaan peralatan elektronik memiliki dampak sangat buruk terhadap interaksi orang tua dengan anak. Orang tua beranggapan bahwa alat elektronik dapat menjadi substitusi mereka saat anak-anak butuh interaksi dan ini tidak baik. Selain itu, orang tua juga menjadi mudah marah ketika kegiatannya dengan peralatan elektronik mereka diinterupsi.
Dr. Wendy Sue Swanson, seorang dokter anak dari Rumah Sakit anak Seattle menganjurkan pada orang tua untuk membuat batasan dengan peralatan digital sehingga peran orang tua dapat dilakukan dengan baik. Demikian juga anak-anak harus dijauhkan dari peralatan elektronik yang membuat mereka lebih ‘menyayangi’ peralatan itu dibanding orang tua mereka.
4. Kemampuan Membaca Anak terpengaruh
Memang tidak banyak penelitian mengenai hal ini, tapi sebuah studi dilakukan oleh West Chester University menunjukkan bahwa anak yang membaca buku dengan kertas lebih memiliki pemahaman yang baik dari apa yang dibaca dibandingkan dengan anak yang membaca e-book. Anak yang membaca e-book cenderung membaca dengan melompat-lompat dan mudah teralihkan perhatiannya pada popups atau aplikasi lain.
5. Anak-anak tidak pernah bermain permainan papan (board games)
Hampir sepanjang waktu anak-anak di era digital bermain dengan games online. Apa yang terjadi dengan permainan papan (halma, monopoli, catur)? Ada banyak keuntungan ketika orang tua dan anak-anak memainkan permainan papan bersama:
Anak-anak belajar berhitung, matematika, membaca dan kosakata baru.
Orangtua dapat memiliki keterikatan dengan anak-anak
Anak belajar mengenai giliran, menerima kekalahan dan mengatasi kemenangan
Anak-anak akan lebih percaya diri, dan penghargaan pada dirinya meningkat
Anak-anak diajar mengenai kompetisi yang positif
Konsentrasi anak terlatih
Meningkatkan fokus dan perhatian anak
Walaupun banyak permainan dan aplikasi online di smarthone yang baik untuk membangun dan mengajar anak, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan interaksi manusia dengan manusia.
6. Anak-anak tidak tahu apa artinya persahabatan yang sejati
Ketika kita tumbuh, kita memiliki teman-teman, teman-teman yang nyata dan sebenarnya. Teman-teman virtual tidak benar-benar ada. Maksudnya, mereka ada tapi tidak terlihat ketika kita berkomunikasi. Kita tidak benar-benar mengenal kebanyakan dari teman-teman yang ada di facebook. Sebagian besar dari mereka hanya temannya teman yang kebetulan mengadd kita menjadi teman. Berkoneksi itu bagus dan hari ini, seorang remaja rata-rata mengirimkan 3000 pesan tertulis setiap bulannya.
TAPI… kelihatannya konsep pertemanan dan kedekatan menjadi berubah drastis dan hal ini kemudian akan sangat mempengaruhi HUBUNGAN. Penelitian di UCLA menunjukkan bahwa keterikatan digital sangat lemah, dibanding dengan interaksi tatap muka.
7. Anak-anak kehilangan kreativitas mereka
Trevor Baylis
Trevor Baylis, penemu Wind-Up Radio mengatakan bahwa ia takut anak-anak sekarang kehilangan kreativitasnya karena menghabiskan banyak waktunya di depan layar daripada mencoba segala sesuatu yang baru dengan tangan mereka. Dia berkata mengenai merangkai / merakit sesuatu seperti moel aeroplane, dst. Anak-anak di era digital tidak pernah lagi memainkan permainan merakit seperti ini. Segala sesuatu sudah tersedia untuk mereka langsung gunakan.
8. Anak-anak tidak belajar EMPATI
Bertoleransi, memperhatikan dan mengendalikan emosi adalah life skill yang harus dikuasai dengan baik. Tapi anak-anak di era digital tidak mempelajari life skill ini sama sekali. Kita tidak bisa berempati dengan peralatan elektronik (setidaknya belum bisa). Cara terbaik untuk mempelajari life skill ini adalah bermain dengan anak-anak lain, dan belajar berbagi, menunggu giliran dan memberi. Apakah ada aplikasi untuk mempelajari itu?
9. Anak-anak tidak belajar mengenai nilai dan sikap
Kurangnya interaksi sosial yang sebenarnya dengan orang tua dan teman berarti mereka makin sedikit belajar tentang nilai-nilai dasar kehidupan seperti toleransi, kebaikan, kejujuran, kerajinan dan rasa hormat. Peralatan Elektronik baik untuk aktivitas belajar tapi hubungan orangtua-anak menjadi sangat lemah.
10. Anak-anak kurang tidur
Anak-anak di era digital ‘kehilangan waktu’ ketika mereka online. Mereka tidak ingat waktu , seolah-olah waktu terbuang begitu saja dengan percuma. Beda ketika mereka melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini juga akan mempengaruhi mood mereka dan mereka menjadi mudah marah ketika diminta mematikan peralatan elektronik. Salah satu aspek yang paling serius adalah pengaruhnya di sekolah pada keesokan harinya.
11. Anak-anak kehilangan kemampuan logika dan bahasa
Anak-anak era digital memiliki keahlian luar biasa dalam seni dan hiburan, tapi kemampuan logika dan bahasa mereka tidak terlatih sama sekali. Mereka tidak dapat memahami perlunya berusaha untuk mendapatkan hasil, juga tidak dapat menemukan hubungan sebab akibat dari suatu permasalahan kehidupan yang terjadi.
Pertemanan secara virtual membuat mereka tidak dapat membedakan bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau seumuran dengan mereka. Sementara orang tua atau guru di era digital merasa kehabisan waktu untuk mengajari hal semacam itu.
12. Anak-anak kecanduan online
Anak-anak di era digital seolah-olah tidak dapat hidup jika mereka tidak online. Bagaimana PR dapat dikerjakan tanpa melihat google? Atau bagaimana mengerjakan PR jika tidak bertanya pada teman lewat Whatsapp. Atau bagaimana menghabiskan waktu jika tidak memainkan permainan online.
Orang tua perlu berhati-hati dengan kecanduan ini. Mereka (orang tua) perlu menjadi teladan dan menjaga agar aktivitas online dan “tradisional” tetap terjaga dengan baik.
Ada beberapa tips untuk menjalankan keseimbangan ni:
Gunakan video call BERSAMA-SAMA untuk menghubungi nenek atau kakek
Mainkan video games BERSAMA-SAMA
Negosiasikan waktu istirahat BERSAMA antara orang tua dan anak dari peralatan elektronik (matikan semua peralatan elektronik atau simpan di tempat terpisah)
Main di luar ruangan BERSAMA-SAMA.
Era Digital tak dapat dihentikan dan peralatan digital adalah alat yang sangat baik untuk belajar dan hiburan. TAPI mereka perlu digunakan dengan HIKMAT dan KEHATI-HATIAN dan tidak untuk menggantikan interaksi tatap muka.
Apakah di gereja Anda ada pelayanan Sekolah Minggu? Seringkali Sekolah Minggu diadakan bersamaan waktunya dengan ibadah orang dewasa, di area yang terpisah. Kita semua menyadari bahwa anak-anak, remaja dan bahkan orang dewasa belajar banyak tentang Tuhan dengan mempelajari Firman-Nya (Alkitab). Hal inilah yang melatar belakangi munculnya “Sekolah Minggu” (atau jaman sekarang lebih sering disebut “Pelayanan Anak”).
Jika Anda begitu ingin memulai Pelayanan Anak ini, Anda dapat memulainya hanya dengan tempat pertemuan, Alkitab, dan beberapa anak (tentu saja, Anda juga membutuhkan tuntunan Roh Kudus!). Tapi kemudian, Anda akan menyadari bahwa Anda membutuhkan pemikiran lebih mendalam mengenai ‘apa yang ingin Anda capai’, bagaimana Anda ingin mencapainya, apa yang akan Anda ajarkan dan siapa yang akan membantu Anda.
Atau dengan kata lain, Anda perlu memberi perhatian pada beberapa hal di bawah ini:
TUJUAN
Apa tujuan dari pelayanan Anda? Apa yang Anda coba raih? Apa yang sedang Anda coba penuhi?
Apakah Anda mencoba membagikan Kabar Baik dari Injil?
Apakah Anda mencoba memuridkan orang yang sudah percaya?
Apakah Anda mencoba menyediakan tempat penitipan anak, hingga orang dewasa dapat melayani dan beribadah dengan lebih lancar?
Apakah Anda hanya sekedar mengumpulkan sebanyak mungkin anak untuk menghibur mereka?
PRIORITAS
Apa yang perlu Anda lakukan terlebih dahulu? Hal apa yang PALING penting?
Apa yang harus dilakukan, dengan urutan bagaimana, untuk hal yang paling penting ini?
Apa yang harus dilakukan kemudian?
dan selanjutnya, dan selanjutnya…
RENCANA
Suatu ringkasan mengenai BAGAIMANA Anda akan mencapai tujuan Anda dan melakukan prioritas Anda
Pikirkan mengenai pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
Siapa yang akan menjadi murid-murid Anda?
Siapa saja yang akan menjadi guru, administrator, dan penolong?
Pelayanan seperti apa yang Anda harapkan?
Apa saja yang akan Anda pelajari untuk melakukan tugas dan tanggungjawab ini?
Dimana dan kapan Anda akan melakukan pertemuan?
Bagaimana Anda akan membayar pengeluaran yang mungkin terjadi?
PASTOR / PENDETA
Dalam setiap organisasi gereja, ada sebuah hierarki otoritas
Diskusikan ide dan jawaban-jawaban Anda akan pertanyaan di atas dengan Pendeta Anda dan / atau pemimpin gereja lain yang terkait
Kepada siapa Anda akan mempertanggungjawabkan peran pelayanan yang baru ini
Untuk siapa Anda bertanggungjawab dalam peran pelayanan yang baru ini
JALUR
Apa yang murid-murid perlukan? Apa yang akan Anda pelajari?
Berapa rentang usia murid-murid Anda
Apakah mereka orang-orang percaya?
Apa yang sudah mereka tahu tentang Tuhan?
Berapa banyak mereka tahu tentang Firman Tuhan(bersambung)
ps: berikutnya kita akan membahas satu persatu mengenai Tujuan, Prioritas, Rencana, Pastor / Pendeta dan Jalur ini… Jadi.. SUBSCRIBE ya!!
Setelah membahas kemampuan anak sampai usia 7 tahun, hari ini kita akan melanjutkan bahasan kita mengenai tingkat kemampuan anak berdasarkan usianya. Kita sudah belajar tingkat kemampuan anak usia 8 – 10 tahun. Deskripsi di bawah ini dapat membantu Saudara dalam menyiapkan kelas, materi, craft, ataupun games untuk anak-anak usia 8 – 10 tahun di kelas Saudara.
Tujuan pengajaran untuk anak usia 8 – 10 tahun adalah:
Penerimaan diri; belajar tentang kekuatan dan talenta
Berteman; belajar tentang bagaimana bersama dengan orang lain
Memahami bahwa setiap orang berbeda – menerima perbedaan
Mulai belajar tentang peran mereka dalam masyarakat, tanggungjawab dalam keluarga, teman-teman
Pembaca pemula – mampu membaca dan memahami informasi
Belajar untuk membuka dan membaca Alkitab
Mampu menyalin ayat dari Alkitab ke buku teks
Mampu menjawab pertanyaan tertulis dengan jawaban singkat
Bermain permainan menyusun kata
Belajar menuliskan paragraf dan membuat laporan lisan
Belajar melakukan tugas-tugas dengan tipe berbeda baik di rumah maupun sekolah
Dapat memainkan permainan kelompok yang kompleks, bahkan yang kompetitif (sepak bola, voli, basket)
Memiliki keahlian motorik yang baik
Sangat baik bekerja dengan gunting dan lem
Dapat melakukan pekerjaan detil dan proyek craft yang lebih detil
Dapat belajar pelajaran dasar menjahit, merajut, memasak, membuat kue
Dapat belajar menggunakan palu, obeng, gergaji, dll
Dapat bermain teka-teki kata dan permainan angka
Dapat mengingat kitab-kitab dalam Alkitab, nama-nama murid dll
Dapat mengingat bagian panjang dalam Alkitab (contoh: Mazmur 23, Doa Bapa Kami)
Belajar untuk bermain sendiri maupun kelompok
Dapat mulai memahami sejarah Alkitab
Pesan Rohani yang harus disampaikan:
Pesan keselamatan
Kita dapat menerima Yesus sebagai Juruselamat
Tuhan mengasihimu dan orang lain juga
Tuhan mengetahui seluruhnya tentang kamu dan mengasihi kamu apa adanya
Tuhan memiliki rencana yang luar biasa dalam hidupmu
Tuhan tidak akan pernah meninggalkan atau melupakanmu
Kamu dapat mempercayai Tuhan
Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Hadir
Tidak ada yang dapat kamu lakukan yang dapat membuat Tuhan MAKIN mencintaimu atau KURANG mencintaimu
Yesus adalah satu-satunya jalan
Kita diselamatkan karena Kasih Karunia (karena Tuhan begitu baik), dan bukan karena usaha kita (atau apa yang kita lakukan).
Kamu dapat bersaksi mengenai kasih Tuhan dan apa yang Tuhan lakukan dalam hidupmu.
Ketakutan terbesar dunia saat ini adalah “The Lost Generation”, sebuah ketakutan akan masa depan dunia akan punahnya umat manusia (sekalipun saat ini, dilihat dari sisi jumlah manusia, dunia mengalami peningkatan akibat kelahiran). Dari sisi itu, dunia agaknya tidak perlu kuatir akan terjadinya kepunahan umat manusia. Namun, jangan berpuas diri dulu, sebab ketakutan yang sedang membayangi dunia bukan karena jumlah secara kuantitatif, tetapi penurunan kualitas manusia itu sendiri.
Gaya hidup manusia yang semakin egois dan tidak peduli dengan dirinya sendiri, membuat kehidupan manusia terancam akan mengalami kemunduran total dan bisa-bisa manusia kembali ke jaman kanibalisme. Mengetahui ancaman yang ada, maka dunia mulai berpikir bagaimana mengambil langkah preventif (pencegahan), sehingga ketakutan itu dapat dihindari. Ada berbagai macam cara ditempuh, mulai dari mengadakan seminar, pelatihan, simposium, bahkan sampai kepada konperensi tingkat Internasional, yang semuanya bertujuan meningkatkan kualitas manusia secara utuh dan menyeluruh.
Namun, beberapa ahli mengatakan bahwa upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dengan sasaran mereka yang sudah dewasa, hanya memberikan dampak tidak lebih dari 40%, selebihnya pembentukan masa kecil tidak bisa diubah secara drastis. Artinya bahwa pelatihan dan pembinaan yang dilakukan terhadap orang-orang dewasa, hanya berdampak sangat kecil terhadap kepribadian orang tersebut, sebab apa yang dibentuk di masa kecilnya menjadi sesuatu yang sangat melekat dan sukar diubahkan. Continue reading →
“Anak-anak sekarang tidak seperti anak-anak jaman dulu” merupakan kalimat yang sering kita dengar dari mulut guru-guru Sekolah Minggu.
“Mereka sekarang sulit disuruh bernyanyi, sulit duduk diam, selalu memainkan gadget, terlalu kritis, selalu protes”
Benar! Lingkungan sedikit banyak memang berpengaruh pada diri anak-anak (bahkan tidak hanya anak, orang dewasa pun terpengaruh). Tapi sebenarnya, anak-anak tetap sama. Mereka memiliki potensi diajar yang luar biasa, mereka mudah menyerap apapun, mereka suka gambar, bermain, menggerakkan tubuh, dan mereka memiliki potensi belajar tentang Tuhan.
Sebenarnya yang berubah adalah kita, guru-guru Sekolah Minggu yang sudah mengajar bertahun-tahun. Kebanyakan dari kita menjadi letih, lelah, jenuh dengan rutinitas mingguan kita. Kita mulai mengurangi porsi demi porsi yang seharusnya kita berikan pada anak-anak.
Kelas persiapan menjadi terlalu melelahkan bagi kesibukan kita. Kita berdalih “daripada susah-susah bertemu untuk kelas persiapan, sebaiknya membuat group di whatsapp”.
Training Guru Sekolah Minggu dinilai terlalu merepotkan. Kita berdalih “daripada susah-susah membuat jadwal training, sebaiknya mereka yang baru belajar dari kita yang lama (yang sebenarnya sudah kelelahan mengajar)”
Alat peraga dinilai terlalu menyulitkan untuk dibuat. Kita berdalih “untuk apa ada teknologi multimedia yang memudahkan kita. Lagipula anak-anak suka menonton”
Kreativitas menjadi sebuah kata yang sulit dideskripsikan setelah banyak sumber tersedia di youtube dan dunia maya. Alih-alih mencari alat peraga yang sesuai dengan bahan ajar, kita membuat bahan ajar yang sesuai dengan alat peraga yang (kebetulan) kita temukan di jejaring sosial.
Guru pendatang di dunia Sekolah Minggu bingung dengan “bagaimana yang seharusnya”. Mereka berpikir begitulah yang biasa dilakukan. Tanpa kita sadari kualitas guru semakin lama semakin menurun.
Belum lagi hambatan yang ada baik dari dalam maupun luar organisasi gereja. Kurangnya pemain musik, ruang Sekolah Minggu yang tidak memadai, kurangnya guru Sekolah Minggu, kurangnya budget untuk Sekolah Minggu, gadget yang selalu dipegang anak, orang tua yang sulit kooperatif merupakan contoh dari masalah yang dihadapi Guru Sekolah Minggu.
Guru Sekolah Minggu yang dikasihi Tuhan, dunia ini membuat kita lelah. Mengajar bertahun-tahun membuat kita jenuh. Keterbatasan membuat kita putus asa. Hambatan membuat kita apatis.
Saudara, jerih lelah Anda tidak sia-sia! Untuk setiap keringat yang Anda keluarkan, Tuhan memperhitungkannya. Untuk setiap air mata yang mengalir, Tuhan menampungnya. Untuk setiap hati yang terluka, Tuhan memiliki obatnya.
Namun kita tidak bisa melayani anak-anak dengan kelelahan, kejenuhan dan hati yang patah. Tuhan Yesus berkata “barangsiapa menyambut seorang anak di dalam nama-Ku, ia menyambut Aku” (Matius 18:5).
Ya, saat kita menyambut anak, kita menyambut Yesus. Bagaimana Saudara ingin menyambut Yesus?
Alkitab mengajarkan kita cara mengatasi kelelahan:
“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru; mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”
Saudara mungkin berkata “Ya, kami tahu… tapi apa yang harus kami lakukan agar kami tidak lelah dan jenuh?”
Tulisan-tulisan berikutnya akan berisi tips-tips dan informasi yang akan memperlengkapi Saudara dalam melayani. Namun dalam tulisan ini, ada empat hal dasar yang dapat mengatasi kelelahan Saudara:
1. Andalkan Tuhan, nantikanlah Dia. Saudara akan kehabisan tenaga ketika mengandalkan kekuatan sendiri. Sebaliknya, Saudara akan mendapat kekuatan baru ketika Saudara mengandalkan kekuatan Tuhan.
2. Ingat bahwa anak-anak ini adalah milik pusaka Tuhan (Mazmur 127:3) dan saat Saudara menyambut mereka, Saudara sedang menyambut Tuhan.
3. Sadari tujuan pelayanan Saudara. Saudara sedang investasi dalam hidup setiap anak. Saudara kemungkinan besar mempengaruhi masa depan mereka. Jika tanggungjawab itu Tuhan berikan ke tangan Saudara, apa yang akan Saudara lakukan?
4. Perlengkapi diri untuk melayani dengan EFEKTIF! Saat kita melayani dengan tepat sasaran, rasa lelah kita akan berganti sukacita. Namun, hati saja tidak cukup untuk dapat melayani dengan efektif, Saudara harus memiliki hati yang mau BELAJAR.
Dari tulisan sebelumnya kita sudah belajar mengenai bagaimana menjadi Guru Sekolah Minggu (mulai dari basic, luar biasa, hingga berhasil). Kita juga sedang belajar mengenai tingkat kemampuan anak berdasarkan usia.
Tulisan-tulisan berikutnya kita akan belajar:
1. Manajemen Kelas
2. Mengajar dengan efektif
3. Mengajar dengan kreatif
Bagi Saudara yang memiliki ide atau masukan mengenai materi yang ingin dibahas, bisa mengisi kolom comment di bawah ini.
Sampai jumpa di tulisan berikutnya! Tuhan menyertai engkau, Ya Pahlawan yang gagah berani.
Aku berdiri di hadapan takhta itu
Di hadapanku berdiri Sang Maha Tinggi
Siap dengan pertanyaan-Nya
“Aku mempercayakan anak-anak itu di tanganmu
Apa yang sudah kau lakukan untuk mereka”
Aku terdiam,
Terus terang, aku guru sekolah minggu yang hebat
Anak-anak menyukaiku…
“Aku mendekor ruangan dengan sangat bagus,
Begitu banyak uang keluar untuk itu…
Aku menyiapkan sound system dan pencahayaan yang baik,
Aku menyiapkan alat musik dan lagu-lagu yang indah…”
Aku tersenyum puas,
Seolah aku melakukan semuanya dengan sangat baik…
“Itu saja?” Tanya-Nya, seolah tak puas..
“Eh, aku…tentu saja tidak” Jawabku,
“Aku menyiapkan permainan yang seru setiap minggu,
Aku membawakan cerita-cerita yang menarik,…”
“Apakah kau mengenal mereka?” Tanya-Nya
Menyentakkanku dari rasa banggaku..
“Tentu saja…aku mengetahui nama mereka satu persatu” Jawabku, masih merasa bangga
“Apakah kau mengenal mereka? Masalah mereka?” Tanya-Nya lagi
Aku terdiam…Mengingat-ingat
Aku ingat Willy sangat murung, tapi aku tak pernah bertanya mengapa
Aku ingat Lili pernah ingin bercerita, tapi aku sangat sibuk dengan absen, dan pekerjaanku
“Tapi aku membuat mereka senang setiap minggu kan?” Jawabku membela diri
“Apakah kau membawa mereka kepada-Ku” dengan nada rendah Dia bertanya
“Aku mengadakan acara Natal yang hebat kok…ratusan juta dikeluarkan untuk itu
Kau tentu tau kan? Dekorasinya benar-benar bagus. Bukankah kami berdoa untuk itu?
Kami juga mendesain ruangan kami dengan sangat indah, Kau dapat melihatnya kan?”
“Mereka suka bertemu denganku” jawabku
“Apakah mereka suka bertemu dengan-Ku?” tanya-Nya
“Mereka suka kok datang ke sekolah minggu” jawabku
“Apakah mereka suka datang ke hadirat-Ku?” tanya-Nya lagi
“Mereka melakukan perintahku” jawabku
“Apakah mereka melakukan kehendak-Ku” tanya-Nya
“Aku mempercayakan mereka ke tanganmu..
Apakah mereka sudah mengenal-Ku?
Sampai saat ini, aku belum menemukan nama mereka di Buku Kehidupan”
Aku terdiam tak tahu harus jawab apa…
Mengapa segalanya jadi terasa sia-sia
Apakah aku memperjuangkan sesuatu yang salah?
Hari ini kita akan melanjutkan bahasan kita mengenai tingkat kemampuan anak berdasarkan usianya. Kita sudah belajar tingkat kemampuan anak usia 0 – 4 tahun, hari ini kita akan lanjutkan untuk anak usia 4 – 7 tahun.
ANAK USIA 4 – 7 TAHUN
Belajar bagaimana berhubungan dengan Tuhan, anggota keluarga dan orang lain di dunia
Ingin belajar lebih banyak tentang lingkungan sekitar
Perlu belajar ‘berpisah’ dengan anggota keluar untuk waktu yang lebih panjang dalam sehari
Mereka perlu belajar mengurus diri sendiri ketika berjauhan dari orang tua
Mereka perlu dibangun rasa percaya dirinya dengan kemampuan-kemampuan barunya
Mereka perlu berteman dengan orang lain di luar keluarganya