Kegelisahan di kelas…

Anak yang gelisah terkadang mudah diidentifikasi di dalam kelas (seperti ketika seorang anak gugup sebelum ujian sekolah). Tapi terkadang kegelisahan terlihat sebagai sesuatu yang benar-benar lain (seperti tidak enak perut, perilaku mudah marah atau merusak, ADHD atau gangguan belajar.

Ada banyak tipe kegelisahan, itulah yang membuatnya seringkali sulit dideteksi. Kesamaan dari banyak tipe tersebut adalah, kata ahli saraf dan mantan guru Ken Schuster, PsyD, adalah terkadang kegelisahan “mengunci otak”, membuat sekolah menjadi begitu sulit bagi anak-anak yang gelisah.

Anak-anak dapat bergumul dengan:

  1. Separation Anxiety: Kegelisahan akibat takut dipisahkan dari pengasuh. Anak-anak ini dapat mengalami hari yang berat selama berada di sekolah
  2. Social Anxiety atau kegelisahan sosial: Anak-anak yang canggung mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan temannya atau berpartisipasi di kelas.
  3. Selective Mutism: Ketika anak-anak mengalami kesulitan untuk berbicara dalam beberapa kondisi tertentu, seperti ketika berada dekat dengan guru
  4. Generalized anxiety: Ketika seorang anak khawatir mengenai masalah sehari-hari. Anak-anak dengan jenis kecemasan semacam ini sering khawatir terutama tentang kinerja mereka di sekolah dan mereka berjuang melawan sikap perfeksionisme mereka.
  5. Obsessive-compulsive disorder (OCD) atau gangguan obsesif-kompulsif: Bila pikiran anak dipenuhi dengan pikiran yang tidak diinginkan dan penuh dengan tekanan. Anak-anak dengan OCD mencoba meringankan kecemasan mereka dengan melakukan ritual kompulsif seperti menghitung atau mencuci tangan.
  6. Specific phobias: Bila anak-anak memiliki ketakutan yang berlebihan dan tidak masuk akal terhadap hal-hal tertentu, seperti takut pada hewan atau badai.

 

Dalam tulisan berikutnya kita akan membahas satu persatu jenis-jenis kecemasan di atas. Untuk sekarang, coba lihat di kelas Anda, adakah siswa-siswi Anda yang memiliki gejala di atas?

diambil dari: https://childmind.org

Advertisement

Mengenal Masalah Perilaku Anak: ODD

Oppositional defiant disorder (ODD) adalah pola perilaku marah atau mudah tersinggung yang terus-menerus; argumentatif, perilaku menantang terhadap figur penguasa; dan mendendam. Pada beberapa anak dengan ODD, perilaku ini hanya terlihat di satu tlingkungan saja-biasanya di rumah. Pada kasus yang lebih parah terjadi pada beberapa lingkungan. Untuk diagnosis ODD, frekuensi dan intensitas perilaku ini harus berada di luar batas wajar untuk tingkat perkembangan anak, jenis kelamin dan budaya.

Sebenarnya, normal bagi anak-anak untuk bersikap menentang dan menantang setidaknya untuk beberapa waktu atau keadaan. Sebenarnya, ini pertanda perkembangan yang sehat. Jadi, kapan perilaku menentang ini dianggap sebagai gangguan ODD? Diagnosisnya sebaiknya tidak diberikan terburu-buru, misalnya kepada balita yang baru mengetahui bahwa kata favoritnya yang baru adalah “tidak”.

ODD biasanya didiagnosis pada usia dini dan berhenti didiagnosis sekitar masa remaja. Anak-anak yang memiliki ODD memiliki pola masalah perilaku yang terus menerus.

Gejalanya meliputi:

  • Menjadi sangat marah dan mudah tersinggung
  • Sering mengamuk
  • Sering kehilangan kesabaran
  • Mudah tersinggung
  • Berdebat dengan figur otoritas
  • Menolak mengikuti aturan
  • Sengaja bersikap menyebalkan atau mengganggu orang lain
  • Menyalahkan orang lain karena kesalahannya
  • Menjadi pendendam
  • Tingkat percaya diri rendah
  • Mudah frustrasi

Semua anak mungkin memiliki gejala ini sesekali, namun yang membedakan ODD dari perilaku oposisi normal adalah seberapa parahnya, dan berapa lama waktu mereka bersikap seperti itu. Seorang anak dengan ODD akan memiliki masalah perilaku ekstrem setidaknya selama enam bulan.

Ciri lain ODD adalah jumlah “kerusakan” yang terjadi pada hubungan keluarga. Rasa frustrasi harian yang terus menerus – perintah, argumen, ledakan-ledakan yang benar-benar “meledak” – terbangun dari waktu ke waktu, dan interaksi negatif ini merusak ikatan orang tua-anak dan menciptakan perilaku bermusuhan antar mereka.

Sulitnya menjadi orang tua

Anak-anak yang memiliki masalah perilaku seringkali membuat orang tua bersikap ekstrem. Mereka mendorong orang tua untuk bersikap permisif atau mereka mendorong orang tua untuk menjadi pemaksa yang berharap jumlah kontrol yang lebih besar akan membuat anak tersebut mendengarkan.

Tak satu pun dari titik ekstrem ini cocok untuk menjadi orangtua yang ideal. Orang tua pastinya tidak pernah berniat untuk memperkuat perilaku buruk anak, namun kita sering tidak menyadari saat kita melakukannya. Berikut adalah dua skenario umum:

  1. Anda menyuruh anak Anda untuk berhenti bermain game dan bersiap-siap tidur. Dia mengabaikan dua permintaan pertama Anda. Saat Anda menyuruh untuk ketiga kalinya, Anda sangat marah sehingga Anda berteriak.
  2. Anda menyuruh anak Anda untuk berhenti bermain game dan bersiap-siap tidur. Dia mengamuk karena dia ingin terus bermain. Anda tidak ingin dia bermain begitu lama sebelum tidur, jadi Anda mengalah dan mengatakan bahwa dia bisa bermain selama sepuluh menit lagi – tapi kemudian dia harus tidur.

Dalam skenario pertama, anak Anda belajar bahwa berteriak adalah cara yang dapat diterima untuk menyampaikan pesan. Lebih tepatnya, dia mungkin juga belajar bahwa dia dapat terus mengabaikan beberapa permintaan pertama (di mana Anda belum berteriak) hingga saat Anda berteriak (yang diartikannya bahwa Anda sudah serius).

Dalam skenario kedua, anak Anda telah belajar bahwa mengamuk mungkin memberinya sesuatu yang dia inginkan, jadi dia akan cenderung melakukannya lagi di masa depan.

Kedua skenario ini dapat membuat keluarga menghadapi konflik di masa depan, dan semakin diulang, maka hal ini akan menjadi pola perilaku yang sulit dipecahkan. Skenario seperti ini tidak hanya terjadi pada anak dengan ODD, namun interaksi negatif yang diulang seperti ini justru membuat masalah perilaku semakin mungkin terjadi.

Dalam kasus ini, kita tidak dapat menyalahkan orang tua maupun anak, namun orang tua perlu mengetahui bahwa anak mempelajari pola dan mereka belajar bagaimana bertindak melalui pengalaman demi pengalaman yang mereka jalani.

Anak-anak dengan ODD cenderung lebih menentang orang yang mereka kenal dengan baik, seperti orang tua. Ini terjadi karena pola hubungan dan pengalaman yang sudah mereka kenali. Sedangkan di tempat seperti sekolah, di mana anak-anak kurang menguasai secara umum mengenai lingkungan mereka, jenis perilaku yang umum terjadi pada ODD mungkin tidak akan terlihat sama sekali.

ADHD dan ODD

Menurut penelitian 30 sampai 50 persen anak-anak dengan ADHD juga mengalami ODD. Anak-anak dengan ADHD secara biologis muda merasa terganggu, impulsif, mengalami kesulitan bertahan di satu tempat untuk sementara waktu. Jadi anak-anak dengan ADHD seringkali mulai melakukan hal-hal yang oleh orang tua dianggap terlarang. Dan kemudian ketika anak-anak itu mendapat umpan balik negatif, mereka mulai berorientasi negatif pada orang dewasa. Pola interaksi negatif yang berulang ini dapat menyebabkan ODD berkembang.
Tapi perkembangan ODD mungkin berkaitan dengan temperamen anak dan akan terlihat sejak dini. Anak-anak yang memiliki banyak kesulitan untuk menenangkan diri saat mereka balita dan terus berjuang dengan kemampuan mengendalikan emosi saat menghadapi kekecewaan atau frustrasi mungkin memiliki ODD. Orang dewasa di lingkungan mereka mungkin lebih cenderung mengakomodasi tuntutan mereka agar keluarga mereka berfungsi selaras mungkin.

Anak-anak yang telah mengalami banyak stres dan trauma hidup juga lebih cenderung memiliki ODD.

Mengapa pengobatan itu penting?

Penting untuk mendapatkan perawatan guna memperbaiki hubungan orang tua dan anak, untuk kesehatan dan kebahagiaan seluruh keluarga. Hal ini juga penting bagi masa depan anak Anda. Jika tidak, beberapa anak akan tumbuh dengan ODD, yang lain akan terus memiliki masalah perilaku, yang dapat menyebabkan penolakan teman sebaya dan kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat, belum lagi perselisihan keluarga yang terus berlanjut.

Mereka juga cenderung tidak mencapai potensinya. Jika sesuatu tidak berjalan, mereka cenderung menyalahkan orang lain, dan bukannya introspeksi.

Dalam sebagian kecil anak-anak dengan ODD, perilaku buruk akan terus berkembang menjadi conduct disorder, yang merupakan gangguan perilaku yang lebih parah yang mencakup tindakan kriminal seperti mencuri, membakar dan menyakiti orang.

Untuk itu penting sekali mendapatkan perawatan sesegera mungkin ketika seorang anak baru didiagnosis mengalami gangguan perilaku.

Perawatan ODD

Orang tua memainkan peran kunci dalam pengobatan ODD. Ini mungkin mengejutkan, karena walaupun anak-anak adalah mereka yang didiagnosis ODD, namun hubungan orang tua-anak yang perlu diperbaiki, yang berarti kedua belah pihak perlu melakukan perubahan untuk kembali ke jalur semula.

Semua program memiliki kesamaan tujuan, seperti membantu orang tua menemukan jalan tengah antara bersikap terlalu otoritatif dan terlalu permisif. Seorang terapis perilaku membantu orang tua belajar bagaimana melatih perilaku anak mereka dengan menetapkan harapan yang jelas, memuji anak-anak saat mereka menurut dan bagaimana menerapkan disiplin yang efektif jika mereka tidak menurut. Orang tua juga perlu belajar untuk menggunakan strategi ini secara konsisten – satu alasan mengapa strategi manajemen perilaku terkadang tidak berhasil adalah karena orang tua mencoba teknik yang berbeda, bertentangan, atau tidak mengikuti satu program secara konsisten. Orang tua dan anak-anak juga akan belajar keterampilan memecahkan masalah yang dapat mereka gunakan saat ada masalah.

Program pelatihan orang tua mungkin mencakup sesi dengan orang tua dan anak-anak yang bekerja sama, atau hanya orang tua saja. Beberapa program yang berbeda meliputi:

  • Parent-Child Interaction Therapy (PCIT)
  • Parent Management Training (PMT)
  • Defiant Teens
  • Positive Parenting Programme (Triple P)
  • The Incredible Years

Dokter mungkin juga merekomendasikan pelatihan keterampilan sosial untuk membantu memperbaiki hubungan dengan teman sebaya atau terapi perilaku kognitif jika dia mengalami kecemasan atau depresi.

Tidak ada obat yang disetujui Ikatan Dokter manapun untuk ODD, namun obat kadang-kadang digunakan sebagai tambahan terapi perilaku. Obat anti-psikotik seperti Abilify (aripiprazole) dan Risperdal (risperdone), yang telah terbukti mengurangi agresi dan mudah tersinggung, sering digunakan pada kasus di mana seorang anak berisiko dikeluarkan dari sekolah atau rumah. Pengobatan stimulan dapat digunakan jika anak memiliki impulsif yang berlebihan, termasuk mereka yang memiliki diagnosis ADHD. Antidepresan (SSRI) dapat membantu jika seorang anak mengalami depresi atau kecemasan yang mendasarinya.

Terlepas dari rencana perawatan yang direkomendasikan oleh terapis Anda, orang tua perlu memberikan banyak dorongan. Anak-anak tidak akan tiba-tiba terbangun dan berharap perilaku mereka lebih baik hari itu dan kemudian meminta bantuan semua orang dewasa dalam kehidupan mereka untuk dapat berubah. Orang tua atau orang dewasa lain yang perlu berinisiatif memberikan bantuan dan dorongan.

Tapi begitu dinamika keluarga mulai berubah, dan anak-anak (dan orang tua) mulai merasa lebih percaya diri dalam kemampuan mereka untuk bergaul, semua orang akan jauh lebih bahagia.

Tantrum di Sekolah Minggu

Hallo Guru Sekolah Minggu, Pernahkah Anda menghadapi seorang anak yang mengalami tantrum di Sekolah Minggu, khususnya di kelas balita?

Tantrum adalah ledakan emosi, biasanya dikaitkan dengan anak-anak atau orang-orang dalam kesulitan emosional, yang biasanya ditandai dengan sikap keras kepala, menangis, berteriak, menjerit-jerit, pembangkangan, mengomel marah, resistensi terhadap upaya untuk menenangkan dan, dalam beberapa kasus, kekerasan. Kendali fisik bisa hilang, orang tersebut mungkin tidak dapat tetap diam, dan bahkan jika “tujuan” orang tersebut dipenuhi dia mungkin tetap tidak tenang.

Para orang tua mungkin pernah mengalami anak-anak (khususnya balita) yang tantrum. Tidak dapat dikendalikan atau dibujuk, dan biasanya akan berujung pada rasa frustrasi dari orang tua maupun orang dewasa yang berada di sekitar anak yang sedang mengalami tantrum.

Sebelum kita melangkah lebih jauh berbicara mengenai penanganan tantrum, mari kita cari tahu apa penyebab seorang anak bisa mengalami tantrum.

Penyebab Tantrum

Sebuah tantrum kemungkinan besar disebabkan ketika beban frustrasi – sering dibubuhi ketakutan atau kecemasan – menumpuk di dalam diri balita sampai dia begitu penuh dengan ketegangan yang hanya bisa dilepaskan dengan sebuah “ledakan”.

Terkadang, tantrum menyerang begitu cepat, tanpa disadari sebelumnya, karena ada seseorang yang melakukan hal yang salah terhadap si balita.

Apa yang terjadi selama tantrum?

Tantrum setiap anak mungkin bervariasi (antara satu anak dengan anak lainnya), tapi biasanya seorang anak yang sama memiliki jenis tantrum yang sama, artinya seorang anak mungkin berperilaku sama setiap kali tantrum. Ada anak yang berteriak-teriak sambil berkeliling kelas, ada juga yang duduk di lantai sambil berteriak-teriak dan menggerak-gerakan kaki, ada juga yang berguling-guling di lantai sambil histeris, ada juga yang menendang-nendang seolah-olah sedang berkelahi dengan pribadi tak berwujud.

Biasanya, siapa saja yang mencoba untuk mendekati anak yang tantrum akan mendapat tendangan atau tinju (jadi hati-hati), dan anak-anak yang tantrum ini akan terus berteriak sampai serak atau sampai muntah. Anda akan melihat wajahnya berubah mulai merah hingga biru, dalam beberapa kasus ada yang menahan nafasnya begitu lama sehingga wajahnya terlihat begitu pucat.

Bagaimana menangani Tantrum?

Hal pertama yang harus Anda lakukan, bahkan sebelum ada anak yang mengalami tantrum di kelas balita Anda, adalah bicara dengan para orang tua. Minta mereka memberitahu Anda khususnya mengenai anak-anak yang sering mengalami tantrum (biasanya ada anak tertentu yang memang sering mengalami tantrum di rumah)

Selanjutnya, jangan kehilangan kendali. Anda mungkin ingin segera meninggalkan kelas ketika ada anak yang mengalami tantrum. Tapi percayalah, hal ini malah akan membuat anak yang tantrum merasa diabaikan dan tidak diperhatikan. Mereka sendiri merasa takut dengan ledakan emosi yang mereka alami, mereka butuh bantuan orang dewasa untuk mengatasinya. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa ketika seorang anak mengalami tantrum, mereka tidak mau mendengar apapun dan tak dapat dibujuk untuk melakukan apapun.

Berikutnya, selalu ingat bahwa Anda adalah orang dewasa. Tidak peduli berapa lama tantrum berlangsung, jangan menyerah pada tuntutan yang tidak masuk akal atau bernegosiasi dengan anak yang sedang berteriak-teriak. Namun, jangan juga kehilangan kendali dan memarahi anak yang sedang tantrum. Sekali lagi, mereka sendiri pun sedang bingung dengan perasaan mereka dan butuh dibantu.

Jika ledakan anak meningkat ke titik di mana dia memukul orang atau hewan peliharaan, melempar sesuatu, atau berteriak tanpa henti, bawa dia ke tempat yang aman, seperti kamar terpisah, di mana dia tidak bisa membahayakan dirinya sendiri. Katakan padanya mengapa dia ada di sana (“karena Anda memukul temanmu”), dan biarkan dia tahu bahwa Anda akan tinggal bersamanya sampai dia tenang.

Hal yang harus diingat adalah, ketika Anda memisahkan anak yang sedang tantrum, tinggallah bersama mereka di manapun Anda menempatkan mereka, atau Anda bisa meminta rekan guru sekolah minggu Anda yang lebih kompeten untuk tinggal bersama anak yang sedang tantrum (sementara Anda memanggil orang tua yang bersangkutan).

Tunggulah sampai anak itu tenang. Setelah anak itu mereda dan dapat didekati, peluk atau duduklah dekat anak itu dan bicaralah dengan bahasa sederhana, “kenapa kamu marah?  Kamu marah karena ada yang mengganggumu? Kamu tadi teriak-teriak sehingga kakak tidak mengerti. Sekarang coba cerita, kamu kenapa?”

Selanjutnya berbicaralah dengan orang tua mereka mengenai apa yang terjadi.

Mencegah tantrum di kelas balita Sekolah Minggu

Sebelum berbicara lebih jauh, ingatlah: hal pertama yang harus Anda siapkan adalah diri Anda sendiri. Jangan mengajar dalam keadaan kurang tidur, banyak masalah atau kelelahan.

Berikutnya, sediakan makanan kecil / snack. Perhatikan dengan baik anak-anak yang mulai rewel di kelas. Anak yang lapar dan lelah akan lebih mudah terkena tantrum. Menyediakan / memberikan makanan kecil di kelas balita tidak ada salahnya, khususnya jika Anda terpaksa meng-arrange waktu sekolah minggu yang panjang.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah rencanakan setiap pelajaran dengan baik. Ingatlah bahwa rentang waktu konsentrasi seorang anak balita tidak lebih dari lima menit (untuk suatu aktivitas yang sama). Setiap lima menit, minta mereka melakukan hal yang berbeda. Dalam sesi Firman Tuhan, libatkan mereka dengan bergerak atau menirukan suara tertentu.

Selalu ingat bahwa untuk mengajar di kelas balita, Anda butuh teamwork yang solid. Rekan-rekan yang tidak sedang ‘bicara di depan’ dan dapat mengawasi setiap anak satu persatu. Awasi hubungan setiap anak, anak yang mulai mengantuk / bosan, atau anak-anak yang sedang merasa kesal.

 

Akhir kata, selamat melayani, Pahlawan yang Gagah Perkasa. Tuhan Yesus menyertai!

dirangkum dari berbagai sumber

Mengajar di Era Digital

Mengajar di era digital tentu berbeda dengan mengajar pada era sebelumya. Kini teknologi memungkinkan siswa mendapatkan seluruh pengetahuan yang ada di dunia bahkan tanpa perlu pergi ke sekolah, hanya bertekad kemauan dan inisiatif dari siswa saja. Bahkan keahlian pun dapat dipelajari melalui internet. Buka saja youtube dan Anda bisa mempelajari banyak skill tanpa repot-repot harus les atau mendaftar kursus.

Teknologi seolah menjadi pesaing berat sekolah dalam banyak hal. Tidak percaya? Mari kita lihat beberapa keunggulan “teknologi” dibanding sekolah:

Metoda Pembelajaran Seragam vs Kustomisasi

Sekolah kebanyakan (terutama di Indonesia) menekankan pembelajaran seragam untuk seluruh siswanya. Seluruh siswa harus mengikuti pelajaran yang sama tanpa terkecuali. Suka tidak suka, seluruh siswa harus belajar mengenai seni, matematika, bahasa, fisika, biologi dan banyak lagi. Bukannya bertujuan meningkatkan kecerdasan, kini sekolah justru sibuk dengan mengejar target akademis.

Bandingkan dengan teknologi yang menyediakan banyak informasi dan mengakomodir keingintahuan siswa dengan lebih mendalam (bahkan lebih mendalam dari apa yang diajarkan di sekolah). Siswa yang tertarik dengan biologi misalnya, dapat dengan mudah mengunduh banyak sekali sumber dari berbagai negara untuk memperkaya pengetahuannya dan memuaskan ketertarikannya.

Guru sebagai Ahli vs Sumber Pengetahuan yang BERAGAM

Di sekolah, guru adalah sumber dari informasi yang bertugas meneruskan informasi yang dimilikinya kepada siswa. Mereka adalah pemilik otoritas yang (kebanyakan) tidak suka jika otoritasnya ditantang dengan banyak pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Tidak jarang kita melihat guru yang mencoret jawaban siswa yang sebenarnya benar, hanya karena tidak mengikuti cara yang diajarkan guru.

Bandingkan dengan apa yang dapat diperoleh melalui dunia maya. Ada banyak video dari para ahli yang dapat diunduh dengan mudah. Bahkan ada banyak jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan siswa yang mungkin tidak dapat dijawab oleh guru-guru di sekolah.

Mengerjakan dengan “kepala” vs menggunakan “alat bantu”

Ada suatu keyakinan dari guru-guru (dan orang tua) bahwa jika ingin menguasai sesuatu, maka siswa harus melakukannya sendiri tanpa alat bantu (misal kalkulator atau kamus). Lihat saja menjamurnya tempat-tempat les berhitung yang menuntut anak-anak dapat berhitung cepat di luar kepala.

Bedakan dengan apa yang sebenarnya terjadi di “dunia nyata” di mana kecerdasan seseorang tergantung dari kemampuannya menggunakan alat bantu untuk menyelesaikan pekerjaan yang dimilikinya.

Standar Penilaian vs Spesialisasi

Di sekolah, seluruh penilaian memiliki standarnya sendiri. Setiap siswa harus mengisi pilihan ganda, atau essay, atau apapun bentuk soal yang sama untuk seluruh siswa, di mana hasilnya merupakan nilai yang obyektif dan dinilai adil untuk seluruh siswa. Itulah sebabnya seluruh siswa perlu belajar hal yang sama. Sementara teknologi mendorong siswa untuk mencari tahu dan menguasai materi-materi yang hanya menjadi minatnya saja.

Penguasaan Materi vs Ledakan Pengetahuan

Di sekolah, siswa dituntut untuk menguasai pengetahuan yang ‘mungkin’ dibutuhkannya untuk kehidupan. Mereka dituntut untuk menghafal dan menguasai materi di luar kepala. Namun pengetahuan terus bertambah dan buku pelajaran akan makin tebal dan tebal seiring dengan pertambahan pengetahuan.

Dengan ledakan pengetahuan yang demikian pesat, manusia tidak mungkin mempelajari semua hal di sekolah yang akan berguna di kemudian hari. Siswa perlu belajar bagaimana caranya belajar sesuatu yang baru dan bagaimana menggali informasi dan sumber yang mereka perlukan.

 

Sekolah perlu menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, namun yang perlu diingat adalah, transfer ilmu pengetahuan BUKANLAH tujuan utama PENDIDIKAN. Dalam era digital, di mana hubungan antar manusia merenggang dan life skill semakin menurun, tugas utama sekolah adalah MENCERDASKAN anak-anak agar mereka siap untuk menjadi MANUSIA SEUTUHnya.

Masalah kecerdasan sudah sering dibahas oleh banyak sumber. Anda pasti pernah mendengar mengenai kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence). Seringkali pembahasan mengenai kecerdasan majemuk hanyalah seputar “anak-anak kita memiliki kecerdasan berbeda, jangan hanya menilai mereka dari nilai matematikanya saja”.

Sebenarnya BUKAN ITU inti dari KECERDASAN MAJEMUK. Kecerdasan majemuk adalah jenis-jenis kecerdasan yang HARUS dimiliki setiap orang untuk dapat bertahan hidup. Sebenarnya kecerdasan majemuk ini sudah ada dalam materi-materi pelajaran di sekolah, sayangnya, hanya berupa tuntutan akademis yang seringkali kehilangan maknanya.

Sebenarnya kecerdasan majemuk perlu dilatih agar siswa dapat:

  1. Kecerdasan logika agar siswa dapat memecahkan permasalahan dalam kehidupan dengan sistematis dan logis.
  2. Kecerdasan bahasa agar siswa dapat berkomunikasi dengan benar, dengan bahasa yang sopan dan pantas.
  3. Kecerdasan visual agar siswa dapat lebih peduli dan memperhatikan lingkungan sekitarnya.
  4. Kecerdasan musik agar siswa dapat lebih peka dengan ‘suara-suara alam’ dan ‘ritmik kehidupan’
  5. Kecerdasan olah tubuh agar siswa dapat menjaga keseimbangan, kesehatan dan kebugaran tubuhnya.
  6. Kecerdasan natural agar siswa dapat bertanggungjawab dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
  7. Kecedasan Interpersonal agar siswa dapat menguasai diri, berdamai dengan dirinya dan menerima dirinya apa adanya.
  8. Kecerdasan Intrapersonal agar siswa dapat menjalin hubungan / relasi yang sehat dengan setiap orang yang ada di sekitarnya.
  9. Kecerdasan eksistensial agar siswa dapat menyadari keberadaan dirinya merupakan anugerah dari Sang Pencipta dan mensyukuri setiap hal yang dia miliki dalam hidup

Bukankah semua hal itu penting dalam kehidupan? Bukankah itu seharusnya tujuan dari “pergi ke sekolah setiap hari”, agar anak-anak siap menghadapi “dunia luar”?

Sekolah bukanlah sekedar tempat untuk transfer ilmu! Jika memang begitu, maka sekolah sudah KALAH TELAK dari teknologi di era digital ini. Sekolah adalah tempat di mana siswa belajar menjadi cerdas dalam arti siap menjadi MANUSIA yang SEUTUHnya.

Mendidik bukanlah sekedar melakukan transfer ilmu! Jika memang begitu, maka guru sudah KALAH TELAK dengan teknologi di era digital ini. Pendidik adalah mereka dengan perencanaan matang yang menerapkan teori prinsip mengajar dan teori perkembangan anak untuk menyampaikan materi ajar dan menguasai kelas yang bertujuan mengubah PERILAKU anak didik secara positif (Levin dan Nolan).

Ini adalah era digital! Sekolah adalah tempat kedua di mana anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya. Jika sekolah tidak menggunakan waktu yang banyak itu untuk “mengubahkan perilaku” (dengan kata lain membina karakter) anak, maka sekolah akan menjadi suatu tempat yang tidak berguna.

 

Nantikan tulisan berikutnya: Mengajar Sekolah Minggu di Era Digital

Sejarah Sekolah Minggu

gambar diambil dari http://www.christianitytoday.com

Artikel pertama di blog ini adalah Sejarah Sekolah Minggu. Mungkin banyak di antara Anda yang sudah lama melayani Tuhan di Sekolah Minggu tapi tidak mengetahui sejarah Sekolah Minggu…

Bagi Anda, Sekolah Minggu mungkin hanya suatu tradisi, bagian dari masa lalu Anda, dan mungkin tempat Anda melayani saat ini. Sekolah Minggu awalnya didirikan untuk anak-anak miskin dan tidak berpendidikan di Inggris pada sekitar tahun 1780-an. Anak-anak ini sehari-hari bekerja di pabrik sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar.

Continue reading